WAKTU.COM - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyarankan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dan Ade Komarudin untuk duduk bersama dan berembuk membahas wacana pergantian Ketua DPR. Pembicaraan tersebut, katanya, akan berdampak baik bagi Partai Golkar dan lembaga DPR.
"Tentu saya sebagai kawan, sebagai bagian dari kawannya Pak Akom, Pak Novanto saya membayangkan ini akan ada perbincangan mendalam antara mereka. Sehingga proses pengambilan keputusan dan dinamika di dalam disepakati bersama lah, tentu itu akan baik bagi semua. Bagi DPR, Golkar, Pak Novanto," kata Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/11).
Fahri mengaku memahami posisi Novanto yang merasa dirugikan saat didera kasus 'Papa Minta Saham'. Dugaan Novanto terlibat dalam permufakatan jahat kasus itu lah membuatnya terpaksa mundur dari jabatan Ketua DPR.
"Saya ngerti posisi pak Novanto, ada hari ketika tiba-tiba Pak Novanto kayak dianiaya begitu, dengan sesuatu modal percakapan di ruang tertutup. Kemudian penganiayaan itu mengakibatkan dia dipaksa mundurkan diri, itu kan bukan mundur yang normal," jelasnya.
Meski demikian, katanya, putusan MK atas pasal 5 UU ITE nomor tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) yang menyatakan rekaman Sudirman Said ilegal itu membuktikan Novanto tidak bersalah sehingga menjadi pertimbangan Golkar mengembalikan kursi Ketua DPR.
"Kemudian lakukan upaya hukum ke MK dan MK mengatakan alat bukti yang dikumpulkan secara ilegal tidak bisa dilegalkan. Pak Novanto sebetulnya dalam dilema, dia salah atau tidak. Maka saya usulkan mereka melakukan pembicaraan mendalam lah," tambah dia.
Merujuk pada keputusan MK itu, kata dia, secara moral nama baik dan martabat Novanto sesungguhnya bisa pulih, sehingga tidak menutup kemungkinan jabatan Ketua DPR bisa dikembalikan.
"Justru itu kan masalahnya, itu kan orang dipaksa mengundurkan diri. Dia mengundurkan diri. Setelah mengundurkan diri, terbukti bahwa alasan dia ditekan itu adalah salah, batal demi hukum. Sebetulnya secara moral Pak Novanto itu kembali pulih," tuturnya.
Untuk proses pergantian Ketua DPR, lanjut dia, mekanismenya harus sesuai dengan Pasal 87 UU No 17 tahun 2014 tentang MD3. Ketentuannya, seorang Ketua DPR bisa diganti jika meninggal dunia, mengundurkan diri secara sadar atau diberhentikan.
"Untuk diberhentikan itu, ada beberapa pihak yang memberhentikan. Pertama negara karena melanggar UU, kemudian Mahkamah Kehormatan Dewan melalui paripurna, ketiga adalah partai, di mana partai itu harus ada argumennya, tidak bisa tidak ada argumen," tegasnya.
Sejauh ini, pimpinan DPR belum menerima surat dari DPP Partai Golkar atas wacana pergantian ini. Namun, Fahri mengaku sudah lama mendengar informasi ini. Jika surat sudah diterima pimpinan DPR, maka akan dibawa ke Rapat Pimpinan DPR, lalu Badan Musyawarah dan kemudian dibacakan di Paripurna.
"Saya belum mengerti, karena belum tahu suratnya seperti apa, duduk perkaranya seperti apa," pungkasnya.