Nah, setelah Faxian dan Yijing yang gue sebut di atas, diaspora masyarakat dari Tiongkok berlangsung dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama yang cukup besar dipengaruhi oleh kebijakan Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana yang liberal dan memperbolehkan semua orang dari ras dan agama apapun untuk berdagang dan menyebarkan agamanya di daerah kekuasaan Majapahit.
Kebijakan ini membawa peluang bagi Laksamana dari Dinasti Ming, Zheng He (Cheng Ho/Ma Sanbao/Sampokong) yang beragama Islam untuk bolak-balik ngunjungin pantai utara Jawa bagian Tengah untuk berdagang pada awal abad 15. Zheng He sendiri yang beragama Islam ngebawa rombongan Tionghoa muslim, Buddha, Tao, dan Konghucu untuk berdagang bersama di Pulau Jawa.
Gelombang migrasi kedua terjadi pada saat Gubernur Jendral Hindia Belanda, Jan Pieterszoon Coen berhasil nguasain Jayakarta (1619) dan membangun Kota baru bernama Batavia (dari reruntuhan Jayakarta). Pada masa pembangunan itu, tentu dia memerlukan pekerja, pedagang, dan penduduk kota dong, masa kosong isinya cuma segelintir orang Belanda aja. Coen yang mungkin saat itu khawatir banyak masyarakat lokal yang masih menyimpan dendam, memutuskan untuk mendatangkan orang-orang dari tanah Tiongkok untuk dipekerjakan menjadi buruh dan pedagang. Tapi di satu sisi, bukan berarti masyarakat pendatang Tionghoa ini berpihak pada Belanda. Seiring dengan semakin kompleksnya interaksi budaya, mulai berkembanglah masalah-masalah sosial.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa maha akbar yang sayangnya kurang diliput sama buku sejarah yaitu Geger Pecinan, yaitu ketika orang-orang Tionghoa dari seluruh pelosok Jawa bahu-membahu dengan masyarakat Jawa lokal untuk melakukan pemberontakan melawan belanda. Saking dahsyatnya Geger Pecinan, peristiwa ini berujung kepada pemisahan Kesultanan Mataram jadi empat kekuasaan terpisah.
Terlepas dari itu semua, masyarakat Tionghoa gelombang pertama dan kedua ini sekarang lebih akrab disebut sebagai “peranakan”, karena relatif lebih membaur dengan masyarakat lokal. Sementara istilah “totok”, dialamatkan untuk keturunan Tionghoa yang melakukan migrasi pada gelombang ketiga, yaitu pada awal abad 20. Di masa ini, Revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen membawa pergolakan politik dan sosial sehingga banyak rakyat Tiongkok yang memilih untuk pergi ke Hindia Belanda untuk mengadu nasib. Singkat kata singkat cerita, ketiga gelombang migrasi inilah yang memperkaya kebhinekaan Indonesia dengan memiliki etnis Tionghoa dengan jumlah sekitar 2,8 juta jiwa.