"Suatu sore di pesisir pantai yang tenang di utara Pulau Borneo, 5200 tahun yang lalu, ada dua orang pemuda melanesia Alkawari dan Anatjari yang lagi nyari kerang untuk dimakan sekaligus cangkangnya dibikin jadi perhiasan buat calon-calon bini mereka di kampung. Tiba-tiba Anatjari bengong mematung sambil ngeliat cakrawala. Alkawari nanya dengan suara pelan sambil ngibas-ngibasin tangan di depan muka temennya itu, “Dahaka?” (ada apaan sih men?), yang hanya dibalas dengan tunjukan jari Anatjari ke ufuk utara. Alkawari memincingkan mata karena susah ngeliat hal yang dimaksud. Setelah menunggu beberapa menit, benda yang dimaksud pun semakin keliatan jelas. Ternyata benda itu adalah belasan kano bercadik dua yang mengapung di laut, bermuatan 4-10 orang khas bangsa Austronesia. Semenjak itu, tidak ada yang tau nasib Alkawari, Anatjari, calon-calon bini mereka, dan kampung mereka. Sebab sore itu, Nusantara kedatangan lagi bangsa yang akan menyebut daerah ini sebagai rumah mereka."Paragraf di atas itu sebetulnya cuma fiksi karangan gua doang untuk mengilustrasikan kedatangan gelombang kedua Homo sapiens ke Bumi Nusantara ini yaitu kelompok melayu-austronesia. Rumpun Austronesia ini merupakan rumpun yang sangat besar, mencakup suku Melayu, Formosan (Taiwan), Polynesia (Hawaii, Selandia Baru, dsb).
Muka bulet, idung lebar, rambut item tebal sedikit bergelombang, dan kulit kecoklatan, merupakan ciri-ciri bersama satu rumpun Austronesia ini. Suku ini dateng ga cuma modal nekat doang, tapi juga membawa serta "amunisi" mereka berupa hewan ternak seperti ayam, babi, dan bibit padi, dll. Kebiasaan mereka dalam nanem padi menimbulkan kebutuhan akan adanya lahan pertanian yang luas serta teknologi irigasi yang "canggih". Salah satu sisa budaya asli Austronesia yang masih bisa lo liat sekarang adalah sistem irigasi menggunakan sengkedan (terasering).
Berbekal kepiawaian dalam berlayar menggunakan teknologi maritim supercanggih saat itu (kano bercadik dua yang sangat stabil walaupun diguncang badai dan ombak) serta sistem pertanian yang efektif, tinggal tunggu waktu aja deh sampe seluruh Nusantara ini bisa dijelajah dan dikuasai oleh rumpun Melayu Austronesia. Dalam masa peralihan dari melanesia menuju austronesia, sampai jaman setelah masyarakat Nusantara mengenal tulisan, udah ga ada lagi tuh jejak-jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia di pulau-pulau bagian barat Nusantara (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Lombok).
Sedangkan di kepulauan Nusantara bagian timur, kita masih bisa melihat jejak hasil pertukaran budaya dan juga gen Melanesia pada masyarakat Kepulauan Maluku, Papua bagian pesisir, dan Kepulauan NTT. Dari segi morfologis, masyarakat yang berasal dari Indonesia timur merupakan campuran antara rumpun Austronesia (muka bulat, hidung lebar) dan rumpun Melanesia (rambut ikal atau malah keriting kecil, kulit lebih gelap). Melanesia “asli”-nya sendiri pada ke mana? Mereka yang tersisa di Kepulauan Nusantara hanyalah mereka yang berhasil menetap tanpa gangguan di pedalaman Papua, dan masih setia dengan kebijaksanaan lokal mereka seperti berkebun dalam skala kecil, berburu binatang, dan hidup dalam masyarakat kesukuan.
Orang-orang Melayu yang dateng ke Nusantara juga secara umum bisa dibagi dua:
Melayu yang mager (males gerak)
Melayu yang ga bisa diam.
Melayu-melayu mager ini bukannya berarti orangnya males, tapi emang udah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga sudah tidak diperlukan lagi mobilisasi penduduk. Keturunan Melayu golongan pertama ini bisa kita liat pada suku Nias di Pulau Nias dan suku Dayak di pedalaman Kalimantan, yang juga biasa disebut sebagai “Proto Melayu” (Proto = purwa/primitif).
Sedangkan di sisi lain, ada golongan melayu yang karena alasan tertentu (misalnya: kondisi geografis, iklim, bencana, dll) merasa perlu untuk terus berpindah tempat sekaligus berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya, sehingga memungkinkan adanya percampuran budaya, bahasa, serta gen. Keturunan Melayu yang gak bisa diem ini salah satunya adalah gue yang berasal dari suku Minangkabau, lo yang dari Jawa, lo yang orang Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh, Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lain yang kita kenal di Indonesia serta biasa disebut sebagai “Deutero Melayu” (Deutero = Berulang/ulangan).
Jadi, bedanya apa sih antara Proto dan Deutero Melayu? Bedanya ya cuma yang Proto itu menetap di tempat terpencil sehingga menyulitkan terjadinya percampuran gen yang lebih variatif, sedangkan Deutero menetap di tempat yang memungkinkan untuk terjadinya percampuran gen. Jadi proto dan deutero itu gak menggambarkan siapa yang duluan dateng ya, tapi cuma yang satu netap, yang satu lagi pindah-pindah dan membaur. Gitu coy!
Bangsa Melayu dapat dikatakan sangat pewe tinggal di Kepulauan Nusantara. Mereka beranak-pinak dan ujung-ujungnya bikin beragam peradaban dan kebudayaan-kebudayaan yang masih bisa kita nikmatin sampe sekarang. Bangunan rumah panggung atap rumbia, tarian, baju daerah yang warna-warni, wajah dan badan yang dibubuhin tato, bahkan bahasa-bahasanya, masih bercirikan Austronesia. Gak cuma yang ada di Indonesia ataupun Malaysia doang, kebudayaan serupa juga bisa lo temuin di orang Maori (Selandia Baru), Rapa Nui (Pulau Paskah), orang Asli Taiwan, Madagaskar, dan pelosok-pelosok Austronesia lainnya. Tapi, sama seperti sebelumnya, stabilitas yang sebelumnya terbangun pasti akan menghadapi tantangan baru, perubahan selalu terjadi, nothing lasts forever…